Minggu, 07 Desember 2025

Bagaimana Cara UMKM di Aceh Bertahan Menghadapi Bencana Hidrometeorologi Tahun 2025?


Untuk kondisi sekarang di Aceh, kuncinya dua: cepat bertahan (survival) dan cepat tersambung dengan skema bantuan yang sedang disiapkan pemerintah. Banjir bandang akhir November 2025 memang terjadi saat puncak musim hujan yang sudah diperingatkan BMKG untuk Aceh pada November–Desember 2025, sehingga risiko banjir dan longsor sangat tinggi. Pemerintah pusat saat ini sedang menginventarisasi UMKM terdampak banjir di Sumatra (termasuk Aceh) dan menyiapkan insentif khusus, skema pemulihan, serta KUR sebagai “infus ekonomi” bagi pelaku usaha. OJK juga mengkaji restrukturisasi kredit UMKM korban bencana di Aceh, Sumut, dan Sumbar. Di bawah ini langkah strategis per stakeholder, sambil belajar dari kasus Thailand (banjir 2011), Merapi, dan Haiyan di Filipina yang relatif sukses memulihkan UMKM.

1. Pelaku UMKM: Bertahan, Berubah Sementara, tetapi Tetap Jualan

Pertama, pelaku UMKM perlu segera mengamankan arus kas. Fokuskan penjualan pada produk/jasa yang tetap bisa jalan dengan keterbatasan bahan baku dan energi: menu sederhana dengan bahan lokal yang masih tersedia, jasa cuci, perbaikan, atau titip jual produk tetangga di satu titik yang aksesnya masih mungkin. Pengalaman UMKM di Thailand saat banjir 2011 menunjukkan bahwa usaha yang cepat memangkas produk tidak penting dan mengerucut ke produk paling laku mampu pulih lebih cepat.

Kedua, fleksibel soal bahan baku dan energi. Dengan LPG langka dan BBM antre, UMKM bisa: berbagi fasilitas (satu dapur produksi bersama untuk beberapa merek), menggunakan kompor listrik/induksi jika listrik relatif stabil, atau memakai bahan bakar alternatif yang aman dan terkontrol. Studi pemulihan UMKM pasca erupsi Merapi menegaskan bahwa akses cepat ke peralatan produksi bersama dan pembiayaan kecil untuk penggantian alat sangat membantu restart usaha.

Ketiga, pindahkan penjualan ke kanal yang paling mungkin: WhatsApp, marketplace lokal, dan titik jemput offline di area yang tidak tergenang. Pasca Topan Haiyan, pemerintah Filipina dan ILO mendampingi UMKM untuk mengandalkan penjualan daring, pasar temporer, dan skema titip-jual di minimarket sebagai jembatan pendapatan saat infrastruktur rusak. Pola serupa bisa dipakai: satu warung dijadikan “hub” titip produk UMKM sekitar yang lebih parah terkena banjir.

Keempat, dokumentasikan kerusakan (foto/video), stok yang hilang, omzet yang turun, dan catat dalam bentuk sederhana. Ini akan jadi basis untuk: pendataan pemerintah, pengajuan restrukturisasi kredit ke bank/BPRS, serta akses KUR pemulihan. Saat ini pemerintah dan OJK sedang mengumpulkan data UMKM terdampak sebagai dasar kebijakan restrukturisasi dan insentif.

2. Asosiasi UMKM, Koperasi, dan BUMG Gampong: Agregator Masalah dan Solusi

Asosiasi/komunitas UMKM dan BUMG gampong sebaiknya bergerak sebagai “agregator data dan logistik”. Langkah cepat: membuat daftar UMKM per gampong (jenis usaha, status kerusakan, kebutuhan mendesak: bahan baku, alat, modal kerja). Pendekatan agregat seperti ini terbukti efektif di Region 8 Filipina setelah Haiyan: DTI (Kementerian Perdagangan setempat) memberi layanan pemulihan untuk lebih dari 26.000 UMKM melalui program teknis, pemasaran, dan akses bahan baku berbasis data klaster.

Secara praktis, asosiasi dapat mengatur pembelian bersama LPG, BBM, dan bahan baku pokok (tepung, minyak, beras, gula) langsung dari distributor besar atau Bulog, lalu didistribusikan ke anggota dengan sistem kuota. Di Thailand, klaster UMKM yang mengonsolidasikan permintaan bahan baku dan memanfaatkan gudang bersama terbukti mengurangi waktu henti produksi pasca banjir 2011. Asosiasi juga dapat mengorganisir “pasar darurat” di lokasi yang relatif aman, bekerja sama dengan pemerintah daerah dan lembaga sosial.

3. Pemerintah Daerah: BTT, Ruang Produksi Darurat, dan Koridor Logistik

Pemerintah provinsi dan kabupaten/kota di Aceh perlu segera memanfaatkan Belanja Tidak Terduga (BTT) dan dukungan BNPB/BPBA untuk bukan hanya tanggap darurat, tetapi juga tanggap ekonomi. Ini berarti: selain dapur umum dan logistik pengungsi, dialokasikan juga anggaran untuk “dapur produksi UMKM”, tenda pasar sementara, serta bantuan alat kerja ringan (kompor, etalase, mesin kecil). Praktik seperti ini dilakukan dalam program pemulihan mata pencaharian pasca Merapi dan beberapa program ILO di Filipina, di mana kombinasi cash-for-work dan penyediaan alat produksi kolektif mempercepat pemulihan pendapatan lokal.

Pemerintah daerah juga bisa menetapkan koridor logistik prioritas UMKM: jalan yang dipastikan cepat dibersihkan untuk akses pasokan dan distribusi barang, serta SPBU yang ditugaskan melayani kuota tertentu untuk angkutan logistik, bukan hanya kendaraan pribadi. Ini belajar dari Thailand, di mana gangguan logistik menjadi salah satu faktor utama besarnya kerugian industri dan UMKM saat banjir 2011.

Selain itu, pemda perlu membentuk Satgas Pemulihan UMKM Aceh yang menyatukan dinas koperasi/UMKM, perindustrian, perdagangan, Bappeda, serta perbankan daerah. Tugas satgas ini: satu pintu pendataan, rekomendasi penerima KUR pemulihan, fasilitasi restrukturisasi kredit, serta penetapan lokasi-lokasi “zona usaha aman banjir” sebagai tempat relokasi sementara.

4. Pemerintah Pusat dan OJK: Insentif, KUR Pemulihan, dan Restrukturisasi

Pemerintah pusat melalui Kementerian UMKM sedang menyiapkan insentif khusus dan skema pemulihan UMKM untuk korban banjir Sumatra, termasuk Aceh, dengan menekankan pemulihan aktivitas ekonomi lokal, bukan sekadar bantuan konsumtif. Salah satu opsi yang mengemuka adalah KUR pemulihan dengan bagi hasil rendah, masa tenggang (grace period), dan fokus pada modal kerja untuk restocking serta perbaikan alat.

OJK, di sisi lain, tengah mengkaji restrukturisasi pembiayaan (penundaan angsuran, perpanjangan tenor, dan pengurangan bagi hasil) bagi UMKM terdampak di Aceh dan provinsi lain di Sumatra. Pengalaman pasca Merapi menunjukkan bahwa kebijakan khusus bank sentral dan otoritas keuangan untuk perlakuan kredit di daerah bencana (seperti penetapan daerah bencana dan relaksasi kolektibilitas kredit) mampu menghindari gelombang kredit macet dan memberi ruang napas bagi UMKM untuk bangkit.

Yang penting: kebijakan pusat ini perlu dibumikan di Aceh melalui sosialisasi yang jelas, formulir yang sederhana, dan pendampingan oleh pendamping UMKM, perguruan tinggi, serta asosiasi usaha, sehingga pelaku kecil yang terdampak parah tetap mampu mengaksesnya.

5. BUMN Energi dan Logistik: Menjamin Bahan Bakar dan Pangan

Kelangkaan LPG dan antrean BBM adalah bottleneck utama. Pertamina dan operator logistik lain perlu bekerja sama dengan pemda untuk menyediakan jalur prioritas bagi distribusi BBM dan LPG ke: rumah sakit, dapur umum, dan sentra produksi UMKM. Pemerintah pusat sudah menekankan pentingnya menjaga stabilitas harga BBM di daerah terdampak Aceh, Sumut, dan Sumbar; langkah ini perlu dilanjutkan dengan pengaturan kuota dan distribusi tepat sasaran.

Bulog dan jaringan distributor pangan dapat membuka skema harga khusus atau paket bahan pangan pokok bagi pelaku usaha kuliner di daerah terdampak, sehingga mereka tetap bisa menjual makanan dengan margin tipis namun stabil. Dalam beberapa bencana di Indonesia, penambahan stok beras Bulog ke wilayah bencana terbukti meredam lonjakan harga dan menjaga kegiatan usaha kecil di sektor pangan tetap berjalan.

6. Lembaga Zakat, Baitul Mal, dan Filantropi: Modal Restart dan Bantuan Berbasis Usaha

Untuk Aceh, zakat, infak, dan wakaf produktif adalah modal sosial yang sangat kuat. Lembaga seperti Baitul Mal, BAZNAS, dan LAZ dapat mengalokasikan program khusus “modal restart UMKM terdampak banjir”: berupa paket alat kerja (kompor, oven kecil, mesin jahit, gerobak) dan/atau modal kerja mikro tanpa bunga. Pendekatan ini sejalan dengan rekomendasi berbagai studi tentang keuangan sosial Islam yang menekankan pemberdayaan ekonomi berkelanjutan pasca bencana, bukan sekadar bantuan konsumtif jangka pendek.

Program bisa diintegrasikan dengan kegiatan cash-for-work yang mendukung pemulihan infrastruktur lokal (pembersihan pasar, bengkel, warung), sehingga masyarakat mendapatkan pendapatan sambil mempercepat proses normalisasi kegiatan ekonomi, seperti yang dilakukan dalam program pemulihan mata pencaharian pasca Haiyan di Filipina.

7. Perguruan Tinggi dan Inkubator Bisnis: Pendampingan Cepat dan Rencana Kontinjensi

Perguruan tinggi di Aceh (USK, UIN Ar-Raniry, dan lainnya) serta inkubator bisnis dapat menjadi pusat pendampingan manajemen krisis bagi UMKM. Mengacu pada panduan internasional tentang ketangguhan UMKM, hal-hal yang bisa dilakukan antara lain: membantu pelaku usaha menyusun rencana keberlanjutan bisnis sederhana (business continuity plan), memetakan risiko lokasi usaha, dan mendesain skenario relokasi sementara yang murah.

Tim KKN, PkM dosen, dan inkubator dapat membuka klinik konsultasi gratis (online dan posko lapangan) untuk membantu: pengisian formulir bantuan, desain ulang model bisnis, serta pelatihan singkat pemasaran digital berbiaya rendah. Pengalaman di berbagai negara menunjukkan bahwa UMKM yang pernah menerima pelatihan manajemen risiko dan diversifikasi pasar jauh lebih cepat pulih pasca bencana.


Secara historis, banjir besar di Thailand 2011, erupsi Merapi 2010, dan Topan Haiyan di Filipina memperlihatkan pola yang sama: UMKM paling rentan di awal, tetapi juga paling cepat menjadi motor pemulihan bila mendapatkan dukungan tepat sasaran dalam tiga hal: logistik bahan baku dan energi, akses pembiayaan yang fleksibel, dan pendampingan untuk adaptasi model bisnis.

Untuk Aceh, langkah strategis tiap stakeholder perlu diikat dalam satu kerangka: (1) UMKM menjaga nyawa usaha dengan berjualan dalam bentuk apa pun yang mungkin; (2) asosiasi dan BUMG menjadi agregator data dan logistik; (3) pemda menggeser sebagian fokus dari sekadar bantuan konsumtif menuju dukungan produksi; (4) pemerintah pusat dan OJK segera mengoperasionalkan insentif, KUR pemulihan, dan restrukturisasi; (5) BUMN energi/logistik menjamin pasokan BBM, LPG, dan pangan; (6) lembaga keagamaan mengarahkan dana sosial ke modal usaha produktif; dan (7) kampus serta inkubator menjadi mitra teknis UMKM.

Jika tujuh simpul ini bergerak serentak, Aceh bukan hanya bisa membantu UMKM bertahan di tengah bencana hidrometeorologi November 2025, tetapi juga membangun ekosistem usaha kecil yang lebih tangguh menghadapi banjir-banjir berikutnya yang, menurut proyeksi iklim, sayangnya berpotensi semakin sering terjadi.

Strategi Kunci UMKM Bertahan dari Kelumpuhan Ekonomi dan Hiperinflasi pada Bencana Hidrometeorologi Aceh 2025


Banjir besar yang melanda Aceh pada 25–26 November 2025 tidak hanya menyebabkan kerusakan fisik, tetapi juga memicu krisis ekonomi yang kompleks. Aktivitas ekonomi di berbagai kabupaten/kota lumpuh total akibat terputusnya akses Jalur Nasional Sumatra, yang menjadi urat nadi suplai utama dari Sumatera Utara.

Krisis ini menciptakan pukulan ganda bagi Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah (UMKM), yang dihadapkan pada kelangkaan input produksi dan lonjakan harga yang ekstrem (hiperinflasi). Untuk memastikan UMKM dapat bertahan dan pulih dengan cepat, diperlukan strategi operasional yang cerdas dan dukungan kolaboratif dari berbagai pihak.

Krisis UMKM di Aceh terutama disebabkan oleh disrupsi serentak pada input produksi krusial: energi dan pangan.

  1. Kelangkaan Energi dan Kenaikan Harga Ekstrem: Kelangkaan gas elpiji (LPG) 3 kg mencapai titik kritis, dengan harga yang melonjak hingga Rp60.000 per tabung, sebuah kenaikan lebih dari 300%. Krisis ini secara instan melumpuhkan sektor UMKM makanan dan minuman.
  2. Hiperinflasi Pangan: Terputusnya jalur logistik memicu hiperinflasi yang tak tertahankan, membuat harga cabai merah mencapai Rp300.000 per kg, telur ayam Rp100.000 per sangkak, dan beras menembus Rp400.000 per sak. Kenaikan harga ekstrem ini diperburuk oleh praktik penimbunan dan permainan harga oleh oknum pedagang.
  3. Kelumpuhan Operasional: Dampak krisis logistik dan energi dirasakan hingga ke fasilitas yang didukung pemerintah; sebagai contoh, kelangkaan bahan baku dan gas memaksa 19 Satuan Pelayanan Pemenuhan Gizi (SPPG) di Kabupaten Bireun menghentikan operasi.

Untuk melewati masa kritis ini, UMKM di Aceh harus segera mengadopsi strategi adaptif yang berfokus pada diversifikasi input dan digitalisasi.

UMKM harus mengurangi ketergantungan pada LPG 3 kg yang rentan terhadap disrupsi logistik.

  • Adopsi Kompor Biomassa: UMKM harus didorong untuk beralih ke Kompor Biomassa Inovatif yang menggunakan bahan bakar lokal seperti wood pellet atau ranting kering. Kompor ini memiliki efisiensi pembakaran 38%–42% dan menghemat penggunaan kayu hingga 60.47%, menawarkan solusi energi yang lebih terjangkau.
  • Solusi Taktis Jangka Pendek: Sebagai solusi darurat, UMKM bisa memanfaatkan penggunaan kayu bakar untuk mencegah penghentian total produksi.

Karena rantai pasok nasional terputus, UMKM harus mengalihkan fokus ke sumber daya yang lebih tangguh dan mudah diakses.

  • Substitusi Menu Lokal: UMKM Makanan dan Minuman wajib melakukan diversifikasi menu cepat, mengganti 50-80% bahan baku impor dengan produk lokal Aceh, seperti umbi-umbian, kacang-kacangan, tahu tempe, dan ikan budidaya lokal yang masih tersedia di wilayah seperti Aceh Barat, Bireun, dan Pidie.
  • Akses Suplai Bersama: Untuk mendapatkan harga yang wajar dan stok yang terjamin, UMKM harus memanfaatkan kearifan lokal seperti Lumbung Pangan atau membentuk Kelompok Pembelian Bersama (Buying Group) untuk mengakses harga grosir dari Dinas Pangan.

Ketika pasar fisik lumpuh, UMKM harus beralih ke saluran penjualan yang masih berfungsi.

  • Pemasaran Daring Darurat: UMKM harus segera menerapkan Pemasaran Digital Darurat, mengubah fokus bisnis menjadi layanan pesan-antar (delivery-only) menggunakan platform media sosial atau pesan instan. Strategi ini terbukti efektif meningkatkan ketahanan UMKM saat menghadapi bencana banjir.
  • BCP Minimalis: UMKM harus menerapkan elemen dasar Business Continuity Planning (BCP). Ini termasuk memastikan data pelanggan dan keuangan dipindahkan ke sistem cloud backup yang aman, serta memiliki rencana redundansi input dan dana darurat.

Pemulihan ekonomi UMKM tidak dapat berdiri sendiri, hal ini membutuhkan intervensi sistemik melalui model Collaborative Governance.

Pemangku KepentinganPrioritas Aksi Darurat (0-30 Hari)
Pemerintah Aceh/BPBDPenetapan Status Darurat Daerah untuk mengaktifkan Dana Siap Pakai APBD, memungkinkan subsidi biaya distribusi (transportasi udara/laut) dan stabilisasi harga.
Dinas Pangan/Polda AcehMelakukan Inspeksi Mendadak (Sidak) dan penegakan hukum untuk menindak oknum penimbun, serta memfasilitasi pengiriman logistik kritis (airlift) untuk menstabilkan harga.
Pertamina & PUPRPertamina harus menjamin suplai BBM/LPG ke wilayah terisolir menggunakan moda darurat (pesawat IBC) dan mempercepat perbaikan 4 SPBU yang rusak. PUPR harus memaksimalkan pengerahan alat berat untuk membuka akses jalur nasional Langkat-Aceh Tamiang.
Sektor Keuangan (Dinas Koperasi/OJK)Menyediakan Skema Relaksasi Pembiayaan dan Modal Kerja Darurat dengan bagi hasil rendah atau nol persen untuk UMKM, yang difokuskan untuk pembelian energi alternatif dan bahan baku lokal.
LSM/AkademisiMengakselerasi pelatihan konversi kompor biomassa yang efisien dan pelatihan digital marketing darurat di sentra UMKM.

Dengan mengintegrasikan strategi operasional adaptif dari UMKM dan dukungan sistemik yang terkoordinasi dari seluruh pemangku kepentingan, Aceh dapat mengatasi kerentanan struktural yang ada. Bencana ini harus menjadi momentum untuk mewajibkan BCP dan desentralisasi energi bagi UMKM di Aceh, menjamin ketahanan ekonomi di masa depan.

Sabtu, 04 Oktober 2025

Manajemen Risiko Aset dalam Perspektif Islam

Manajemen risiko aset dalam perspektif Islam berangkat dari kesadaran bahwa di setiap aktivitas ekonomi selalu ada ketidakpastian. Dalam fikih muamalah, ketidakpastian dikenal dengan istilah gharar. Tidak semua ketidakpastian dilarang; yang dilarang adalah gharar yang berlebihan, yakni ketidakjelasan yang membuat pihak-pihak dalam transaksi tidak memahami objek, harga, waktu, atau kewajiban masing-masing. Karena itu, tugas manajemen risiko bukan menghapus risiko—sesuatu yang mustahil—melainkan menata risiko agar bisa diperkirakan, diukur, dan dibagi secara adil. Prinsip ini menjadi pagar etika sehingga keputusan pengelolaan aset tidak berubah menjadi spekulasi yang dekat dengan maysir (untung-untungan), dan tetap berpijak pada informasi yang jujur serta akad yang jelas.

Pendekatan Islam terhadap manajemen risiko memadukan ikhtiar profesional dengan nilai-nilai syariah. Ikhtiar pertama adalah memastikan akad dan proses bebas dari riba, jauh dari spekulasi, dan transparan sejak awal. Dari sini lahir praktik pencatatan yang rapi, kontrak yang tegas, dan due diligence sebelum menempatkan dana. Selanjutnya, risiko dikurangi melalui pemilihan aset yang halal dan berbasis nilai nyata—misalnya aset berwujud, arus kas usaha, atau proyek yang manfaatnya jelas—sehingga volatilitas harga tidak semata-mata ditopang sentimen. Diversifikasi juga menempati posisi penting: tidak menumpuk seluruh dana pada satu sumber pendapatan atau satu jenis instrumen, melainkan menyebarkannya sesuai tujuan dan horizon waktu agar guncangan di satu titik tidak merusak keseluruhan portofolio. Pada kemitraan usaha, skema bagi hasil seperti mudharabah dan musyarakah menjadi sarana berbagi risiko dan imbal hasil secara proporsional, sehingga keuntungan dan kerugian tidak ditimpakan sepihak.

Di tataran praktik, manajemen risiko ala syariah mengajarkan disiplin arus kas dan kesesuaian tujuan. Dana darurat dan kebutuhan rutin sebaiknya ditempatkan di instrumen likuid yang risikonya rendah, sementara tujuan jangka menengah dan panjang diarahkan ke instrumen berimbal hasil yang sepadan dengan kemungkinan fluktuasinya. Pemantauan berkala dilakukan untuk memastikan portofolio tidak menyimpang dari rencana, disertai penyeimbangan ulang ketika komposisi aset berubah terlalu jauh akibat pergerakan pasar. Apabila muncul pendapatan non-halal yang tidak disengaja, prinsip purifikasi diberlakukan dengan memisahkan dan menyalurkan dana tersebut untuk kepentingan umum agar portofolio kembali bersih. Semua ini berjalan berdampingan dengan budaya evaluasi: belajar dari deviasi proses, menguatkan kontrol, dan meningkatkan literasi agar keputusan berikutnya lebih matang.

Perlindungan aset melalui takaful memberikan lapisan pertahanan yang khas dalam ekosistem syariah. Takaful pada dasarnya adalah skema saling tolong-menolong, di mana peserta menyisihkan kontribusi ke dalam dana tabarru’. Dana bersama ini dipakai membayar klaim saat peserta mengalami musibah sesuai ketentuan polis. Berbeda dari asuransi konvensional yang rawan mengandung riba, gharar, dan unsur judi, takaful mereduksi tiga hal itu lewat struktur akad yang jelas dan pemisahan dana peserta dari dana pengelola. Perusahaan takaful bertindak sebagai operator yang mengelola dana dengan akad wakalah (fee yang disepakati di awal) atau mudharabah (bagi hasil atas keuntungan pengelolaan), sementara surplus underwriting—selisih kontribusi dengan klaim dan cadangan—dapat dikembalikan sebagian kepada peserta sesuai aturan yang disetujui. Di level yang lebih luas, risiko yang sangat besar didistribusikan kembali kepada perusahaan lain melalui mekanisme retakaful agar dana tabarru’ tetap sehat.

Manfaat takaful terasa pada tiga ranah yang sering dilupakan dalam manajemen aset. Pada rumah tangga, perlindungan jiwa dan kesehatan menjaga rencana keuangan agar tidak runtuh oleh biaya tak terduga. Pada pelaku usaha, takaful aset dan tanggung gugat membantu menutup kerusakan fisik, gangguan usaha, atau klaim pihak ketiga, sehingga arus kas usaha lebih stabil dan kreditur serta mitra dagang lebih percaya. Pada lembaga sosial, takaful aset wakaf melindungi bangunan dan fasilitas layanan publik agar program kemaslahatan tidak macet saat terjadi musibah. Intinya, takaful bukan cara “mencari untung”, melainkan instrumen pemerataan risiko agar beban musibah tidak ditanggung satu pihak saja.

Keterpaduan antara pengurangan risiko, pembagian risiko, dan perlindungan risiko membuat manajemen aset Islam bersifat menyeluruh. Pengurangan risiko ditempuh lewat seleksi aset yang sesuai syariah, dokumentasi yang kuat, dan proses yang higienis serta aman. Pembagian risiko dijalankan melalui kontrak bagi hasil dan struktur pembiayaan yang adil, sehingga semua pihak memiliki insentif untuk menjaga kinerja. Perlindungan risiko dilengkapi dengan takaful, yang memberikan bantalan finansial ketika kejadian di luar kendali menimpa. Ketiganya bukan pilihan yang saling menggantikan, melainkan rangkaian yang saling menguatkan.

Pada akhirnya, manajemen risiko dalam perspektif Islam adalah seni menyeimbangkan tawakkal dan ikhtiar. Tawakkal memelihara ketenangan batin bahwa hasil akhirnya berada dalam genggaman Allah, sementara ikhtiar menuntun kita untuk berpikir jernih, menimbang data, dan mengambil langkah-langkah yang profesional. Ketika akad disusun dengan jelas, aset dipilih karena nilai riilnya, portofolio dijaga melalui disiplin arus kas, dan perlindungan takaful disiapkan dengan niat saling menolong, maka pengelolaan aset berjalan bukan hanya aman secara finansial, melainkan juga selaras dengan tujuan syariah. Inilah wajah manajemen risiko yang tidak menolak kenyataan dunia, tetapi mengelolanya dengan etika, pengetahuan, dan tanggung jawab.

Kamis, 02 Oktober 2025

Kawasan Industri Halal

Kawasan industri halal adalah kawasan manufaktur dan logistik yang dirancang khusus untuk memastikan proses produksi sebuah produk memenuhi standar halal dan thayyib dari hulu ke hilir. Berbeda dengan kawasan industri biasa, di sini seluruh ekosistem—mulai dari pemilihan bahan baku, alur produksi, fasilitas penyimpanan, hingga distribusi—disusun agar mencegah kontaminasi silang dengan bahan non-halal dan menjaga higienitas secara konsisten. Tujuannya sederhana namun penting: memberi kepastian kepada produsen, auditor, dan konsumen bahwa produk yang keluar dari kawasan tersebut tidak hanya legal, tetapi juga terpercaya secara syariah dan mutu.

Di dalam kawasan ini, tata letak pabrik, gudang, dan jalur logistik diatur agar memisahkan aliran bahan halal dari bahan berisiko. Untuk komoditas sensitif seperti daging, susu, atau produk beku, keberadaan rantai dingin yang stabil menjadi syarat agar mutu terjaga dari truk berpendingin hingga ruang penyimpanan. Laboratorium pengujian yang berada dekat dengan pabrik mempersingkat waktu verifikasi bahan dan produk, sehingga jika ada temuan, produsen bisa cepat melakukan koreksi. Kehadiran layanan kebersihan dan sanitasi yang standar membuat prosedur pembersihan peralatan menjadi kebiasaan, bukan sekadar persiapan menjelang audit.

Keunggulan utama kawasan industri halal terletak pada “satu pintu” layanan yang mempercepat kepatuhan. Pelaku usaha dapat mengakses pendampingan penyusunan dokumen, jasa audit dari lembaga pemeriksa halal, konsultasi Dewan Pengawas Syariah, hingga proses sertifikasi formal dalam satu lingkungan kerja yang terhubung. Alur ini menekan biaya transaksi, memangkas waktu tunggu, dan memberi kejelasan langkah demi langkah, terutama bagi pelaku usaha kecil dan menengah yang baru pertama kali mengurus sertifikasi.

Kawasan yang efektif tidak berhenti pada kepatuhan; ia juga membantu perusahaan menjadi efisien dan kompetitif. Akses ke bank dan pembiayaan syariah yang berada di lingkungan kawasan memudahkan pabrik memperbarui mesin atau menambah lini produksi dengan akad yang sesuai prinsip syariah, seperti murabahah untuk pembelian alat atau ijarah untuk sewa peralatan. Jika skala proyeknya besar, penerbitan sukuk dapat dipertimbangkan untuk membiayai infrastruktur bersama semisal pergudangan, logistik, atau pusat distribusi. Ketika pembiayaan selaras dengan model bisnis halal, risiko kepatuhan menurun dan kepercayaan mitra dagang meningkat.

Konektivitas menjadi faktor penentu keberhasilan. Kawasan yang terhubung dengan pelabuhan, bandara, dan jaringan jalan utama akan lebih menarik bagi tenant karena biaya distribusi menurun dan kecepatan pengiriman meningkat. Di sisi hilir, kedekatan dengan ritel modern dan kanal e-commerce memudahkan produk halal menembus pasar domestik, sementara kedekatan dengan pelabuhan mempersingkat akses ke pasar ekspor. Bagi buyer internasional, kemampuan kawasan menunjukkan keterlacakan—melalui dokumentasi bahan, batch produksi, dan hasil uji—menjadi nilai tambah yang sulit ditawar.

Sumber daya manusia adalah jantung operasional kawasan. Program pelatihan rutin tentang hygiene, titik kendali kritis, dokumentasi, serta budaya pelaporan insiden menjadikan kepatuhan sebagai refleks harian. Untuk mempercepat adaptasi tenant baru, pengelola kawasan biasanya menyediakan modul orientasi, contoh formulir dan SOP siap pakai, serta klinik konsultasi yang bisa diakses kapan saja. Karyawan yang memahami “mengapa” di balik setiap prosedur akan lebih disiplin mengeksekusi “bagaimana”-nya di lantai produksi.

Digitalisasi memperkuat reputasi kawasan sebagai ekosistem yang dapat diaudit dan dilacak. Pencatatan elektronik penerimaan bahan, suhu proses, jadwal pembersihan, hingga pergerakan barang menciptakan jejak data yang rapi. Kode QR pada kemasan yang menaut ke informasi proses dan sertifikasi memberi ketenangan bagi konsumen, sementara dashboard produksi membantu manajemen mengidentifikasi potensi masalah lebih dini. Untuk UMKM, digitalisasi dapat dimulai sederhana—mengunggah dokumen standar, foto proses, dan log harian ke platform bersama—sebelum bertahap naik ke sistem ERP.

Tantangan pembangunan kawasan industri halal biasanya muncul dalam bentuk pembiayaan awal, okupansi yang belum penuh, dan kebutuhan pendampingan intensif bagi tenant pemula. Solusinya adalah menawarkan paket nilai yang jelas: biaya sewa kompetitif, layanan sertifikasi terintegrasi, akses pembiayaan syariah, laboratorium yang responsif, serta promosi bersama ke buyer ritel dan eksportir. Ketika tenant merasa terbantu menurunkan biaya gagal mutu, mempercepat sertifikasi, dan memperluas pasar, tingkat keterisian akan naik dan ekosistem akan berputar lebih cepat.

Pada akhirnya, kawasan industri halal adalah strategi percepatan yang menyatukan nilai syariah dengan profesionalisme industri. Ia memberikan kepastian proses untuk produsen, jaminan mutu untuk konsumen, dan visibilitas bagi mitra global. Jika pilar-pilar—regulasi, pembiayaan, logistik, SDM, dan digitalisasi—dikelola secara terpadu, kawasan ini bukan hanya wadah pabrik yang berlabel halal, tetapi mesin pertumbuhan yang mendorong inovasi, efisiensi, dan daya saing produk halal Indonesia di pasar dunia.

Kamis, 25 September 2025

Pilar dan Infrastruktur Industri Halal

Industri halal berdiri di atas pilar nilai dan tata kelola yang memastikan produk bukan hanya “boleh” menurut syariah, tetapi juga aman, berkualitas, dan berdaya saing. Intinya sederhana: halal menegaskan keabsahan proses dan bahan, sedangkan thayyib menekankan kebaikan—higienitas, mutu, dan kemanfaatan. Kedua prinsip ini kemudian diterjemahkan menjadi sistem kerja yang bisa diaudit dari hulu hingga hilir, sehingga kepercayaan konsumen terbentuk bukan dari klaim, melainkan dari bukti.

Pilar pertama adalah etika dan kepatuhan syariah. Di sini, pelaku usaha memastikan bahan baku terlacak asal-usulnya, akad bisnisnya jelas, dan tidak ada unsur riba, gharar, atau maysir dalam transaksi. Kepatuhan tidak berhenti di bahan; cara memproses, menyimpan, mengangkut, hingga memasarkan produk juga harus jujur dan transparan. Komitmen ini melahirkan budaya amanah: menepati takaran, menjaga kebersihan fasilitas, dan memperlakukan konsumen, pemasok, serta pekerja secara adil.

Pilar kedua adalah kerangka regulasi dan kelembagaan. Sertifikasi halal bekerja seperti “bahasa bersama” antara produsen, auditor, ulama, dan negara. Pelaku usaha menyiapkan dokumen bahan dan proses, lembaga pemeriksa halal melakukan audit, otoritas keagamaan menetapkan status halal, dan badan pemerintah menerbitkan sertifikat serta mengawasi peredaran. Arsitektur ini membuat ekosistem berjalan tertib, memberi kepastian bagi pengusaha, dan melindungi hak konsumen.

Pilar ketiga berkaitan dengan sistem manajemen mutu yang hidup di lantai produksi. Perusahaan memetakan titik kendali kritis, menata alur kerja agar tidak terjadi kontaminasi silang, dan menegakkan kebersihan sebagai kebiasaan, bukan sekadar “menjelang audit”. Dokumen menjadi memori organisasi: catatan penerimaan bahan, suhu proses, jadwal pembersihan, dan penanganan penyimpangan. Dengan dokumentasi rapi, konsistensi batch ke batch meningkat, dan proses perbaikan berkelanjutan bisa dilakukan dengan cepat.

Sumber daya manusia adalah pilar keempat yang sering menentukan sukses atau tidaknya implementasi. Karyawan perlu memahami makna halal–thayyib tidak sebagai beban tambahan, melainkan sebagai standar profesional. Pelatihan yang rutin, teladan dari pimpinan, dan budaya saling mengingatkan membuat kepatuhan menjadi refleks. Ketika semua lini memahami “mengapa” di balik prosedur, kualitas tidak lagi bergantung pada segelintir orang, tetapi menjadi karakter organisasi.

Pembiayaan syariah menjadi pilar yang memperkuat ekspansi tanpa mengorbankan nilai. Kebutuhan alat dapat dipenuhi lewat murabahah (jual beli bermargin yang disepakati di awal) atau ijarah (sewa peralatan), sementara kemitraan skala lebih besar bisa ditempuh melalui musyarakah atau mudharabah berbasis bagi hasil. Di level proyek, sukuk membuka akses modal untuk pabrik, gudang dingin, atau infrastruktur logistik halal. Karena akadnya jelas dan berbasis aset/manfaat, pembiayaan menjadi lebih transparan dan selaras dengan prinsip syariah.

Transformasi digital membentuk infrastruktur yang mempercepat keterlacakan. Sistem sederhana pun bisa efektif: kode QR pada kemasan yang menautkan ke informasi proses, aplikasi untuk mencatat penerimaan bahan dan suhu produksi, hingga ERP skala menengah yang mengintegrasikan pembelian, produksi, dan distribusi. Data real time memudahkan pelaku usaha merespons temuan audit, mengefisienkan rantai pasok, dan membangun bukti yang meyakinkan bagi buyer ritel modern maupun pasar ekspor.

Rantai pasok dan logistik halal merupakan infrastruktur fisik yang menopang kepatuhan. Gudang, transportasi, dan display ritel harus dirancang agar produk halal tidak tercampur dengan komoditas berisiko. Untuk daging dan produk beku, rantai dingin (cold chain) yang konsisten menjadi syarat mutu. Di hulu, pendampingan kepada petani, peternak, dan pemasok kecil membantu mereka memenuhi standar, meningkatkan kualitas pasokan, dan memastikan kesinambungan bahan baku.

Kawasan industri halal menambah kecepatan skala. Ketika di satu lokasi tersedia pabrik, laboratorium uji, layanan sertifikasi, perbankan syariah, dan logistik yang terintegrasi, biaya transaksi turun dan kolaborasi naik. Kawasan seperti ini idealnya menawarkan insentif yang jelas, akses ke pelatihan SDM, serta konektivitas ke pelabuhan dan bandara. Ukurannya bukan pada label “kawasan halal” semata, melainkan pada tingkat keterisian, kualitas tenant, dan kelancaran arus barang.

Dimensi pasar dan branding melengkapi keseluruhan infrastruktur. Konsumen kini ingin bukti, bukan sekadar slogan. Kemasan yang informatif, penjelasan proses yang jujur, dan layanan pelanggan yang responsif mempertebal loyalitas. Untuk ekspor, kesesuaian standar negara tujuan, konsistensi mutu, dan kemampuan memenuhi volume menjadi tiket masuk. Pameran dagang halal, kemitraan dengan ritel modern, dan kanal digital yang dikelola baik adalah jalan pintas memperluas jangkauan.

Pada akhirnya, pilar dan infrastruktur industri halal bertemu pada satu tujuan: membangun kepercayaan yang berumur panjang. Ketika nilai syariah diterjemahkan ke dalam sistem, manusia, pembiayaan, teknologi, dan logistik yang saling menguatkan, industri tidak hanya patuh, tetapi juga kompetitif. Produk menjadi lebih mudah dilacak, proses lebih efisien, dan merek lebih dipercaya. Inilah fondasi agar ekosistem halal tumbuh cepat sekaligus tumbuh dengan cara yang benar—menghasilkan manfaat bagi pelaku usaha, konsumen, dan perekonomian secara luas.

Sabtu, 20 September 2025

Instrumen Keuangan dalam Manajemen Aset Islam

Manajemen aset dalam perspektif Islam tidak hanya berbicara tentang cara menumbuhkan harta, tetapi juga bagaimana harta itu dikelola agar membawa keberkahan dan kemaslahatan. Karena itu, instrumen keuangan syariah selalu berdiri di atas dua kaki: kepatuhan pada prinsip halal–thayyib dan tujuan sosial yang lebih luas. Di satu sisi ada instrumen ibadah harta seperti zakat, sedekah, dan wakaf yang mengalirkan manfaat kepada pihak yang membutuhkan. Di sisi lain ada instrumen pasar seperti sukuk, tabungan, dan investasi syariah yang menggerakkan sektor riil secara beretika. Kombinasi keduanya menghasilkan pengelolaan harta yang tidak hanya aman dan bertumbuh, tetapi juga bernilai ibadah.

Zakat menempati posisi khusus sebagai kewajiban bagi muslim yang memenuhi syarat. Secara ekonomi, zakat berfungsi sebagai mekanisme sirkulasi harta yang mencegah penumpukan pada segelintir orang, sekaligus menjadi jaring pengaman bagi fakir miskin, garim (pengelola zakat), mustahik yang terlilit utang halal, dan kelompok penerima sah lainnya. Bagi pemilik harta, zakat adalah cara membersihkan kekayaan, menata niat, dan menumbuhkan solidaritas sosial. Dengan tata kelola yang baik—pemetaan mustahik, pelatihan keterampilan, dan pendampingan usaha—zakat bahkan bisa berubah dari konsumtif menjadi produktif, membantu penerima keluar dari kemiskinan secara berkelanjutan.

Sedekah bersifat sukarela dan fleksibel: tidak terikat nisab, tidak menunggu haul, dan dapat disalurkan kapan saja. Justru karena fleksibel, sedekah efektif menjadi “pelumas sosial” yang mengisi celah yang tidak selalu terjangkau program formal. Ia bisa berbentuk uang, barang, jasa, bahkan waktu dan keahlian. Dalam manajemen aset pribadi, sedekah membantu pemilik harta membangun kebiasaan memberi secara konsisten tanpa menunggu besar kecilnya jumlah. Dampaknya seringkali berantai: memperkuat jejaring sosial, menumbuhkan rasa empati, dan menciptakan ekosistem saling menolong yang menyehatkan masyarakat.

Wakaf memperluas cakrawala ibadah harta melalui model manfaat jangka panjang. Berbeda dari zakat dan sedekah yang umumnya segera habis pakai, wakaf “membekukan” pokok harta agar manfaatnya mengalir berulang—misalnya tanah yang diwakafkan untuk sekolah, klinik, atau rumah singgah; dana tunai yang dikelola secara produktif untuk beasiswa; hingga instrumen wakaf yang terhubung ke proyek sosial modern. Di sinilah peran manajemen aset terlihat nyata: wakaf membutuhkan nazhir yang profesional, laporan berkala, dan strategi investasi yang hati-hati agar pokok harta tetap utuh sementara manfaatnya terus tumbuh. Ketika dikelola baik, wakaf menjadi mesin kemaslahatan yang menopang layanan publik secara berkelanjutan.

Di ranah pasar keuangan, sukuk hadir sebagai instrumen pembiayaan yang sesuai syariah. Secara sederhana, sukuk adalah surat berharga yang merepresentasikan kepemilikan manfaat atau porsi atas aset/proyek yang nyata—bukan utang berbunga. Imbal hasil sukuk bisa berasal dari sewa (ijarah), bagi hasil (musyarakah/mudharabah), atau margin jual-beli (murabahah), tergantung akad yang digunakan. Bagi investor, sukuk menawarkan arus kas yang relatif teratur dan keterikatan pada aset dasar, sementara bagi penerbit—negara atau korporasi—sukuk membuka akses modal untuk membiayai infrastruktur, pabrik, perumahan, atau layanan publik tanpa melanggar larangan riba. Karena berbasis aset dan akad yang jelas, sukuk mendorong disiplin penggunaan dana sekaligus meningkatkan transparansi.

Tabungan syariah menjadi fondasi likuiditas dalam pengelolaan keuangan. Berbeda dari tabungan konvensional, imbal hasil di tabungan syariah umumnya berbasis bagi hasil atau bonus yang tidak diperjanjikan di depan, sehingga menghindari praktik bunga. Fungsi utamanya adalah menjaga dana darurat dan kebutuhan harian dengan risiko sangat rendah. Bagi keluarga, menempatkan sebagian penghasilan di tabungan syariah adalah langkah pertama agar keuangan stabil, tagihan rutin aman, dan kejutan hidup tidak langsung mengguncang pondasi finansial.

Ketika pondasi likuiditas sudah kuat, investasi syariah membantu mengejar tujuan jangka menengah–panjang. Pilihannya beragam, mulai dari reksa dana pasar uang syariah untuk kebutuhan yang relatif dekat, sukuk ritel untuk arus kas berkala, hingga saham atau ETF syariah bagi tujuan pertumbuhan. Prinsip yang dijaga tetap sama: objeknya halal, akadnya jelas, dan tidak spekulatif. Di sini disiplin sangat penting. Investor perlu memahami profil risiko, horizon waktu, dan menahan diri dari “kejar sensasi” jangka pendek. Evaluasi berkala dan rebalancing membuat portofolio tetap sesuai tujuan tanpa harus sering berpindah-pindah instrumen.

Kekuatan manajemen aset Islam terletak pada keterpaduan antara ibadah harta dan instrumen pasar. Seorang muslim bisa menata arus kas dengan tabungan syariah, menumbuhkan nilai dengan investasi halal, sekaligus mengalirkan sebagian hasilnya melalui zakat dan sedekah. Jika memiliki kelonggaran, wakaf produktif menjadi mahkota yang memastikan manfaat terus hidup bahkan setelah pemiliknya tiada. Sementara itu, sukuk memberikan jalan bagi siapa pun—individu, lembaga, bahkan negara—untuk membangun proyek bermanfaat tanpa keluar dari koridor syariah.

Pada praktiknya, semua instrumen itu memerlukan tata kelola yang rapi: pencatatan yang jujur, dokumentasi akad, audit berkala, dan transparansi kepada pihak terkait. Bila suatu saat ada pemasukan non-halal yang tidak sengaja tercampur, prinsip purifikasi menuntut pemisahan dan penyaluran dana tersebut untuk kepentingan umum agar portofolio kembali bersih. Sikap amanah seperti inilah yang menjaga roh dari manajemen aset Islam—bukan sekadar mengejar angka imbal hasil, melainkan menata harta agar bermanfaat luas.

Akhirnya, mengelola aset secara syariah adalah perjalanan jangka panjang yang memadukan ilmu, disiplin, dan niat. Zakat, sedekah, dan wakaf memastikan harta bergerak ke arah yang benar; sukuk, tabungan, dan investasi syariah membuatnya tumbuh secara sehat. Ketika keduanya diselaraskan, pemilik harta akan merasakan manfaat yang lengkap: ketenangan batin karena patuh pada prinsip, ketahanan finansial karena fondasi yang kuat, dan dampak sosial yang nyata karena harta mengalir sebagai kebaikan.

Selasa, 16 September 2025

Pasar Valuta Asing dan Rezim Devisa dalam Industri Halal

 

Pasar valuta asing berpengaruh langsung pada rantai bisnis industri halal karena banyak bahan baku, mesin, kemasan, dan sertifikasi yang bersifat lintas negara. Produsen makanan-minuman halal di Indonesia, misalnya, kerap membeli bahan aditif, enzim, atau mesin pengolahan dari luar negeri dalam dolar AS atau mata uang lain, sementara penjualan utamanya dalam rupiah. Begitu kurs bergerak, biaya produksi bisa naik-turun sehingga memengaruhi harga jual, margin keuntungan, bahkan kelancaran arus kas. Bagi pelaku halal yang sedang membidik pasar ekspor Timur Tengah, Eropa, atau Asia Selatan, nilai tukar juga menentukan daya saing harga di rak ritel luar negeri.

Rezim devisa—aturan keluar-masuknya devisa—menentukan seberapa mudah pelaku industri halal menerima pembayaran ekspor, membayar impor bahan baku, atau menarik investasi untuk memperluas pabrik dan gudang halal. Rezim yang tertib dan cukup fleksibel memudahkan penggunaan letter of credit syariah, transfer antarbank, dan pembiayaan ekspor-impor melalui bank syariah. Ketika alur devisa lancar, proses sertifikasi lintas batas, audit pabrik oleh mitra mancanegara, dan pembayaran biaya logistik halal juga menjadi lebih sederhana, sehingga produsen dapat fokus pada mutu dan kepatuhan.

Bagi UMKM halal, memahami dasar-dasar pasar valas penting agar tidak “kaget” saat kurs bergejolak. Produsen bumbu halal yang biaya kemasannya tergantung impor, misalnya, bisa mendapati margin tergerus ketika rupiah melemah. Di titik ini, manajemen risiko sederhana menjadi penyelamat: menegosiasikan harga dalam rupiah dengan distributor lokal, menyesuaikan ukuran batch pembelian agar tidak menumpuk stok mahal, atau memadankan (natural hedge) pendapatan ekspor dolar dengan pembayaran impor dolar sehingga selisih kurs yang harus ditukar lebih kecil.

Kewaspadaan syariah tetap menjadi pagar moral dan operasional. Transaksi valas untuk spekulasi murni bertentangan dengan semangat muamalah karena dekat dengan maysir (untung-untungan) dan gharar (ketidakjelasan). Namun lindung nilai untuk melindungi arus kas dagang—misalnya mengunci kurs pembayaran bahan baku yang jatuh tempo tiga bulan lagi—dapat ditempuh dengan struktur yang disetujui otoritas syariah. Prinsipnya sederhana: ada kebutuhan riil yang dapat dibuktikan, akadnya jelas, dan tujuannya menjaga kelancaran usaha, bukan berjudi arah kurs.

Di sisi pembiayaan, pilihan instrumen syariah membantu pabrik halal berinvestasi tanpa melanggar prinsip. Pembelian mesin pengolahan daging dapat dilakukan lewat murabahah dengan margin disepakati di awal, atau ijarah jika perusahaan memilih menyewa peralatan dulu sebelum membeli. Jika targetnya ekspansi besar—misalnya membangun fasilitas cold chain untuk logistik halal—kemitraan berbasis bagi hasil (musyarakah/mudharabah) atau penerbitan sukuk bisa dipertimbangkan. Kombinasi pembiayaan syariah dan manajemen risiko kurs yang disiplin memberi fondasi keuangan yang lebih stabil.

Nilai tukar yang sangat berfluktuasi bisa mengganggu konsistensi harga dan pasokan, dua hal yang sensitif bagi label halal dan kepercayaan konsumen. Karena itu, komunikasi harga yang jujur dan bertahap menjadi penting. Produsen sebaiknya menjelaskan alasan penyesuaian harga ketika biaya impor melonjak, sembari menunjukkan upaya efisiensi di sisi proses dan logistik. Kejujuran informasi merupakan bagian dari amanah, dan dalam jangka panjang justru memperkuat loyalitas pelanggan segmen halal.

Ekspor halal membutuhkan strategi penetapan mata uang yang cermat. Menagih dalam dolar AS memberi stabilitas internasional, tetapi pembeli di kawasan tertentu mungkin lebih nyaman dalam mata uang lokal. Produsen bisa menimbang skema “dua harga” dengan syarat pembayaran yang jelas, atau memakai perantara lokal yang menanggung risiko kurs dengan fee yang wajar. Kuncinya adalah keterbukaan perhitungan, kejelasan tenggat, dan dokumentasi yang rapi agar tidak timbul sengketa.

Halal tidak berhenti di pabrik; logistik dan turisme halal juga tersentuh pasar valas. Hotel halal, restoran bersertifikat, dan destinasi wisata ramah muslim akan merasakan dampak kurs terhadap arus wisatawan. Saat rupiah melemah, Indonesia relatif lebih murah bagi wisatawan asing, sehingga paket wisata halal bisa lebih laku. Namun impor bahan tertentu atau peralatan dapur bisa lebih mahal. Pelaku harus menyeimbangkan keduanya dengan kontrak pemasok yang cermat, buffer stok yang wajar, dan promosi yang tepat waktu.

Pada akhirnya, keterkaitan antara pasar valuta asing, rezim devisa, dan industri halal bermuara pada tiga hal: kepatuhan, kehati-hatian, dan kejelasan. Kepatuhan memastikan setiap transaksi finansial dan komersial berada dalam koridor syariah. Kehati-hatian menuntun pelaku untuk mengelola risiko kurs secara rasional dan proporsional, bukan berspekulasi. Kejelasan akad, harga, dan jadwal pembayaran menjaga kepercayaan mitra di dalam dan luar negeri. Bila tiga hal ini berjalan serempak, industri halal bukan hanya tahan terhadap guncangan nilai tukar, tetapi juga mampu memanfaatkan peluang global dengan tetap menjaga nilai dan keberkahan.

Bagaimana Cara UMKM di Aceh Bertahan Menghadapi Bencana Hidrometeorologi Tahun 2025?

Sumber Untuk kondisi sekarang di Aceh, kuncinya dua: cepat bertahan (survival) dan cepat tersambung dengan skema bantuan yang sedang disia...