Minggu, 07 Desember 2025

Bagaimana Cara UMKM di Aceh Bertahan Menghadapi Bencana Hidrometeorologi Tahun 2025?


Untuk kondisi sekarang di Aceh, kuncinya dua: cepat bertahan (survival) dan cepat tersambung dengan skema bantuan yang sedang disiapkan pemerintah. Banjir bandang akhir November 2025 memang terjadi saat puncak musim hujan yang sudah diperingatkan BMKG untuk Aceh pada November–Desember 2025, sehingga risiko banjir dan longsor sangat tinggi. Pemerintah pusat saat ini sedang menginventarisasi UMKM terdampak banjir di Sumatra (termasuk Aceh) dan menyiapkan insentif khusus, skema pemulihan, serta KUR sebagai “infus ekonomi” bagi pelaku usaha. OJK juga mengkaji restrukturisasi kredit UMKM korban bencana di Aceh, Sumut, dan Sumbar. Di bawah ini langkah strategis per stakeholder, sambil belajar dari kasus Thailand (banjir 2011), Merapi, dan Haiyan di Filipina yang relatif sukses memulihkan UMKM.

1. Pelaku UMKM: Bertahan, Berubah Sementara, tetapi Tetap Jualan

Pertama, pelaku UMKM perlu segera mengamankan arus kas. Fokuskan penjualan pada produk/jasa yang tetap bisa jalan dengan keterbatasan bahan baku dan energi: menu sederhana dengan bahan lokal yang masih tersedia, jasa cuci, perbaikan, atau titip jual produk tetangga di satu titik yang aksesnya masih mungkin. Pengalaman UMKM di Thailand saat banjir 2011 menunjukkan bahwa usaha yang cepat memangkas produk tidak penting dan mengerucut ke produk paling laku mampu pulih lebih cepat.

Kedua, fleksibel soal bahan baku dan energi. Dengan LPG langka dan BBM antre, UMKM bisa: berbagi fasilitas (satu dapur produksi bersama untuk beberapa merek), menggunakan kompor listrik/induksi jika listrik relatif stabil, atau memakai bahan bakar alternatif yang aman dan terkontrol. Studi pemulihan UMKM pasca erupsi Merapi menegaskan bahwa akses cepat ke peralatan produksi bersama dan pembiayaan kecil untuk penggantian alat sangat membantu restart usaha.

Ketiga, pindahkan penjualan ke kanal yang paling mungkin: WhatsApp, marketplace lokal, dan titik jemput offline di area yang tidak tergenang. Pasca Topan Haiyan, pemerintah Filipina dan ILO mendampingi UMKM untuk mengandalkan penjualan daring, pasar temporer, dan skema titip-jual di minimarket sebagai jembatan pendapatan saat infrastruktur rusak. Pola serupa bisa dipakai: satu warung dijadikan “hub” titip produk UMKM sekitar yang lebih parah terkena banjir.

Keempat, dokumentasikan kerusakan (foto/video), stok yang hilang, omzet yang turun, dan catat dalam bentuk sederhana. Ini akan jadi basis untuk: pendataan pemerintah, pengajuan restrukturisasi kredit ke bank/BPRS, serta akses KUR pemulihan. Saat ini pemerintah dan OJK sedang mengumpulkan data UMKM terdampak sebagai dasar kebijakan restrukturisasi dan insentif.

2. Asosiasi UMKM, Koperasi, dan BUMG Gampong: Agregator Masalah dan Solusi

Asosiasi/komunitas UMKM dan BUMG gampong sebaiknya bergerak sebagai “agregator data dan logistik”. Langkah cepat: membuat daftar UMKM per gampong (jenis usaha, status kerusakan, kebutuhan mendesak: bahan baku, alat, modal kerja). Pendekatan agregat seperti ini terbukti efektif di Region 8 Filipina setelah Haiyan: DTI (Kementerian Perdagangan setempat) memberi layanan pemulihan untuk lebih dari 26.000 UMKM melalui program teknis, pemasaran, dan akses bahan baku berbasis data klaster.

Secara praktis, asosiasi dapat mengatur pembelian bersama LPG, BBM, dan bahan baku pokok (tepung, minyak, beras, gula) langsung dari distributor besar atau Bulog, lalu didistribusikan ke anggota dengan sistem kuota. Di Thailand, klaster UMKM yang mengonsolidasikan permintaan bahan baku dan memanfaatkan gudang bersama terbukti mengurangi waktu henti produksi pasca banjir 2011. Asosiasi juga dapat mengorganisir “pasar darurat” di lokasi yang relatif aman, bekerja sama dengan pemerintah daerah dan lembaga sosial.

3. Pemerintah Daerah: BTT, Ruang Produksi Darurat, dan Koridor Logistik

Pemerintah provinsi dan kabupaten/kota di Aceh perlu segera memanfaatkan Belanja Tidak Terduga (BTT) dan dukungan BNPB/BPBA untuk bukan hanya tanggap darurat, tetapi juga tanggap ekonomi. Ini berarti: selain dapur umum dan logistik pengungsi, dialokasikan juga anggaran untuk “dapur produksi UMKM”, tenda pasar sementara, serta bantuan alat kerja ringan (kompor, etalase, mesin kecil). Praktik seperti ini dilakukan dalam program pemulihan mata pencaharian pasca Merapi dan beberapa program ILO di Filipina, di mana kombinasi cash-for-work dan penyediaan alat produksi kolektif mempercepat pemulihan pendapatan lokal.

Pemerintah daerah juga bisa menetapkan koridor logistik prioritas UMKM: jalan yang dipastikan cepat dibersihkan untuk akses pasokan dan distribusi barang, serta SPBU yang ditugaskan melayani kuota tertentu untuk angkutan logistik, bukan hanya kendaraan pribadi. Ini belajar dari Thailand, di mana gangguan logistik menjadi salah satu faktor utama besarnya kerugian industri dan UMKM saat banjir 2011.

Selain itu, pemda perlu membentuk Satgas Pemulihan UMKM Aceh yang menyatukan dinas koperasi/UMKM, perindustrian, perdagangan, Bappeda, serta perbankan daerah. Tugas satgas ini: satu pintu pendataan, rekomendasi penerima KUR pemulihan, fasilitasi restrukturisasi kredit, serta penetapan lokasi-lokasi “zona usaha aman banjir” sebagai tempat relokasi sementara.

4. Pemerintah Pusat dan OJK: Insentif, KUR Pemulihan, dan Restrukturisasi

Pemerintah pusat melalui Kementerian UMKM sedang menyiapkan insentif khusus dan skema pemulihan UMKM untuk korban banjir Sumatra, termasuk Aceh, dengan menekankan pemulihan aktivitas ekonomi lokal, bukan sekadar bantuan konsumtif. Salah satu opsi yang mengemuka adalah KUR pemulihan dengan bagi hasil rendah, masa tenggang (grace period), dan fokus pada modal kerja untuk restocking serta perbaikan alat.

OJK, di sisi lain, tengah mengkaji restrukturisasi pembiayaan (penundaan angsuran, perpanjangan tenor, dan pengurangan bagi hasil) bagi UMKM terdampak di Aceh dan provinsi lain di Sumatra. Pengalaman pasca Merapi menunjukkan bahwa kebijakan khusus bank sentral dan otoritas keuangan untuk perlakuan kredit di daerah bencana (seperti penetapan daerah bencana dan relaksasi kolektibilitas kredit) mampu menghindari gelombang kredit macet dan memberi ruang napas bagi UMKM untuk bangkit.

Yang penting: kebijakan pusat ini perlu dibumikan di Aceh melalui sosialisasi yang jelas, formulir yang sederhana, dan pendampingan oleh pendamping UMKM, perguruan tinggi, serta asosiasi usaha, sehingga pelaku kecil yang terdampak parah tetap mampu mengaksesnya.

5. BUMN Energi dan Logistik: Menjamin Bahan Bakar dan Pangan

Kelangkaan LPG dan antrean BBM adalah bottleneck utama. Pertamina dan operator logistik lain perlu bekerja sama dengan pemda untuk menyediakan jalur prioritas bagi distribusi BBM dan LPG ke: rumah sakit, dapur umum, dan sentra produksi UMKM. Pemerintah pusat sudah menekankan pentingnya menjaga stabilitas harga BBM di daerah terdampak Aceh, Sumut, dan Sumbar; langkah ini perlu dilanjutkan dengan pengaturan kuota dan distribusi tepat sasaran.

Bulog dan jaringan distributor pangan dapat membuka skema harga khusus atau paket bahan pangan pokok bagi pelaku usaha kuliner di daerah terdampak, sehingga mereka tetap bisa menjual makanan dengan margin tipis namun stabil. Dalam beberapa bencana di Indonesia, penambahan stok beras Bulog ke wilayah bencana terbukti meredam lonjakan harga dan menjaga kegiatan usaha kecil di sektor pangan tetap berjalan.

6. Lembaga Zakat, Baitul Mal, dan Filantropi: Modal Restart dan Bantuan Berbasis Usaha

Untuk Aceh, zakat, infak, dan wakaf produktif adalah modal sosial yang sangat kuat. Lembaga seperti Baitul Mal, BAZNAS, dan LAZ dapat mengalokasikan program khusus “modal restart UMKM terdampak banjir”: berupa paket alat kerja (kompor, oven kecil, mesin jahit, gerobak) dan/atau modal kerja mikro tanpa bunga. Pendekatan ini sejalan dengan rekomendasi berbagai studi tentang keuangan sosial Islam yang menekankan pemberdayaan ekonomi berkelanjutan pasca bencana, bukan sekadar bantuan konsumtif jangka pendek.

Program bisa diintegrasikan dengan kegiatan cash-for-work yang mendukung pemulihan infrastruktur lokal (pembersihan pasar, bengkel, warung), sehingga masyarakat mendapatkan pendapatan sambil mempercepat proses normalisasi kegiatan ekonomi, seperti yang dilakukan dalam program pemulihan mata pencaharian pasca Haiyan di Filipina.

7. Perguruan Tinggi dan Inkubator Bisnis: Pendampingan Cepat dan Rencana Kontinjensi

Perguruan tinggi di Aceh (USK, UIN Ar-Raniry, dan lainnya) serta inkubator bisnis dapat menjadi pusat pendampingan manajemen krisis bagi UMKM. Mengacu pada panduan internasional tentang ketangguhan UMKM, hal-hal yang bisa dilakukan antara lain: membantu pelaku usaha menyusun rencana keberlanjutan bisnis sederhana (business continuity plan), memetakan risiko lokasi usaha, dan mendesain skenario relokasi sementara yang murah.

Tim KKN, PkM dosen, dan inkubator dapat membuka klinik konsultasi gratis (online dan posko lapangan) untuk membantu: pengisian formulir bantuan, desain ulang model bisnis, serta pelatihan singkat pemasaran digital berbiaya rendah. Pengalaman di berbagai negara menunjukkan bahwa UMKM yang pernah menerima pelatihan manajemen risiko dan diversifikasi pasar jauh lebih cepat pulih pasca bencana.


Secara historis, banjir besar di Thailand 2011, erupsi Merapi 2010, dan Topan Haiyan di Filipina memperlihatkan pola yang sama: UMKM paling rentan di awal, tetapi juga paling cepat menjadi motor pemulihan bila mendapatkan dukungan tepat sasaran dalam tiga hal: logistik bahan baku dan energi, akses pembiayaan yang fleksibel, dan pendampingan untuk adaptasi model bisnis.

Untuk Aceh, langkah strategis tiap stakeholder perlu diikat dalam satu kerangka: (1) UMKM menjaga nyawa usaha dengan berjualan dalam bentuk apa pun yang mungkin; (2) asosiasi dan BUMG menjadi agregator data dan logistik; (3) pemda menggeser sebagian fokus dari sekadar bantuan konsumtif menuju dukungan produksi; (4) pemerintah pusat dan OJK segera mengoperasionalkan insentif, KUR pemulihan, dan restrukturisasi; (5) BUMN energi/logistik menjamin pasokan BBM, LPG, dan pangan; (6) lembaga keagamaan mengarahkan dana sosial ke modal usaha produktif; dan (7) kampus serta inkubator menjadi mitra teknis UMKM.

Jika tujuh simpul ini bergerak serentak, Aceh bukan hanya bisa membantu UMKM bertahan di tengah bencana hidrometeorologi November 2025, tetapi juga membangun ekosistem usaha kecil yang lebih tangguh menghadapi banjir-banjir berikutnya yang, menurut proyeksi iklim, sayangnya berpotensi semakin sering terjadi.

Strategi Kunci UMKM Bertahan dari Kelumpuhan Ekonomi dan Hiperinflasi pada Bencana Hidrometeorologi Aceh 2025


Banjir besar yang melanda Aceh pada 25–26 November 2025 tidak hanya menyebabkan kerusakan fisik, tetapi juga memicu krisis ekonomi yang kompleks. Aktivitas ekonomi di berbagai kabupaten/kota lumpuh total akibat terputusnya akses Jalur Nasional Sumatra, yang menjadi urat nadi suplai utama dari Sumatera Utara.

Krisis ini menciptakan pukulan ganda bagi Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah (UMKM), yang dihadapkan pada kelangkaan input produksi dan lonjakan harga yang ekstrem (hiperinflasi). Untuk memastikan UMKM dapat bertahan dan pulih dengan cepat, diperlukan strategi operasional yang cerdas dan dukungan kolaboratif dari berbagai pihak.

Krisis UMKM di Aceh terutama disebabkan oleh disrupsi serentak pada input produksi krusial: energi dan pangan.

  1. Kelangkaan Energi dan Kenaikan Harga Ekstrem: Kelangkaan gas elpiji (LPG) 3 kg mencapai titik kritis, dengan harga yang melonjak hingga Rp60.000 per tabung, sebuah kenaikan lebih dari 300%. Krisis ini secara instan melumpuhkan sektor UMKM makanan dan minuman.
  2. Hiperinflasi Pangan: Terputusnya jalur logistik memicu hiperinflasi yang tak tertahankan, membuat harga cabai merah mencapai Rp300.000 per kg, telur ayam Rp100.000 per sangkak, dan beras menembus Rp400.000 per sak. Kenaikan harga ekstrem ini diperburuk oleh praktik penimbunan dan permainan harga oleh oknum pedagang.
  3. Kelumpuhan Operasional: Dampak krisis logistik dan energi dirasakan hingga ke fasilitas yang didukung pemerintah; sebagai contoh, kelangkaan bahan baku dan gas memaksa 19 Satuan Pelayanan Pemenuhan Gizi (SPPG) di Kabupaten Bireun menghentikan operasi.

Untuk melewati masa kritis ini, UMKM di Aceh harus segera mengadopsi strategi adaptif yang berfokus pada diversifikasi input dan digitalisasi.

UMKM harus mengurangi ketergantungan pada LPG 3 kg yang rentan terhadap disrupsi logistik.

  • Adopsi Kompor Biomassa: UMKM harus didorong untuk beralih ke Kompor Biomassa Inovatif yang menggunakan bahan bakar lokal seperti wood pellet atau ranting kering. Kompor ini memiliki efisiensi pembakaran 38%–42% dan menghemat penggunaan kayu hingga 60.47%, menawarkan solusi energi yang lebih terjangkau.
  • Solusi Taktis Jangka Pendek: Sebagai solusi darurat, UMKM bisa memanfaatkan penggunaan kayu bakar untuk mencegah penghentian total produksi.

Karena rantai pasok nasional terputus, UMKM harus mengalihkan fokus ke sumber daya yang lebih tangguh dan mudah diakses.

  • Substitusi Menu Lokal: UMKM Makanan dan Minuman wajib melakukan diversifikasi menu cepat, mengganti 50-80% bahan baku impor dengan produk lokal Aceh, seperti umbi-umbian, kacang-kacangan, tahu tempe, dan ikan budidaya lokal yang masih tersedia di wilayah seperti Aceh Barat, Bireun, dan Pidie.
  • Akses Suplai Bersama: Untuk mendapatkan harga yang wajar dan stok yang terjamin, UMKM harus memanfaatkan kearifan lokal seperti Lumbung Pangan atau membentuk Kelompok Pembelian Bersama (Buying Group) untuk mengakses harga grosir dari Dinas Pangan.

Ketika pasar fisik lumpuh, UMKM harus beralih ke saluran penjualan yang masih berfungsi.

  • Pemasaran Daring Darurat: UMKM harus segera menerapkan Pemasaran Digital Darurat, mengubah fokus bisnis menjadi layanan pesan-antar (delivery-only) menggunakan platform media sosial atau pesan instan. Strategi ini terbukti efektif meningkatkan ketahanan UMKM saat menghadapi bencana banjir.
  • BCP Minimalis: UMKM harus menerapkan elemen dasar Business Continuity Planning (BCP). Ini termasuk memastikan data pelanggan dan keuangan dipindahkan ke sistem cloud backup yang aman, serta memiliki rencana redundansi input dan dana darurat.

Pemulihan ekonomi UMKM tidak dapat berdiri sendiri, hal ini membutuhkan intervensi sistemik melalui model Collaborative Governance.

Pemangku KepentinganPrioritas Aksi Darurat (0-30 Hari)
Pemerintah Aceh/BPBDPenetapan Status Darurat Daerah untuk mengaktifkan Dana Siap Pakai APBD, memungkinkan subsidi biaya distribusi (transportasi udara/laut) dan stabilisasi harga.
Dinas Pangan/Polda AcehMelakukan Inspeksi Mendadak (Sidak) dan penegakan hukum untuk menindak oknum penimbun, serta memfasilitasi pengiriman logistik kritis (airlift) untuk menstabilkan harga.
Pertamina & PUPRPertamina harus menjamin suplai BBM/LPG ke wilayah terisolir menggunakan moda darurat (pesawat IBC) dan mempercepat perbaikan 4 SPBU yang rusak. PUPR harus memaksimalkan pengerahan alat berat untuk membuka akses jalur nasional Langkat-Aceh Tamiang.
Sektor Keuangan (Dinas Koperasi/OJK)Menyediakan Skema Relaksasi Pembiayaan dan Modal Kerja Darurat dengan bagi hasil rendah atau nol persen untuk UMKM, yang difokuskan untuk pembelian energi alternatif dan bahan baku lokal.
LSM/AkademisiMengakselerasi pelatihan konversi kompor biomassa yang efisien dan pelatihan digital marketing darurat di sentra UMKM.

Dengan mengintegrasikan strategi operasional adaptif dari UMKM dan dukungan sistemik yang terkoordinasi dari seluruh pemangku kepentingan, Aceh dapat mengatasi kerentanan struktural yang ada. Bencana ini harus menjadi momentum untuk mewajibkan BCP dan desentralisasi energi bagi UMKM di Aceh, menjamin ketahanan ekonomi di masa depan.

Bagaimana Cara UMKM di Aceh Bertahan Menghadapi Bencana Hidrometeorologi Tahun 2025?

Sumber Untuk kondisi sekarang di Aceh, kuncinya dua: cepat bertahan (survival) dan cepat tersambung dengan skema bantuan yang sedang disia...