Manajemen industri halal di Indonesia bertumpu pada dua pilar: landasan syar’i sebagai sumber nilai dan norma, serta landasan hukum positif sebagai kerangka formal yang mengikat pelaksanaan di lapangan. Dari sisi hukum positif, Indonesia sudah menempatkan jaminan produk halal sebagai mandat negara melalui Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2014 tentang Jaminan Produk Halal (JPH). Undang-undang ini menegaskan bahwa produk yang masuk, beredar, dan diperdagangkan di Indonesia wajib bersertifikat halal, sehingga “halal” bukan hanya label etis, tetapi juga kewajiban hukum yang dapat diawasi dan ditegakkan.
Landasan syar’i memberi arah moral dan standar substansi. Prinsip halal-haram dan thayyib menuntut proses yang bersih dari riba, gharar (ketidakjelasan berlebihan), dan maysir (spekulasi/judi), sekaligus menekankan keadilan, kejujuran, dan kemaslahatan. Di tingkat industri, makna “halal” tidak berhenti pada bahan baku, tetapi merentang ke seluruh rantai nilai: pemilihan pemasok, proses produksi, sanitasi, logistik, hingga cara promosi. Orientasi maqasid syariah—menjaga agama, jiwa, akal, keturunan, dan harta—diterjemahkan menjadi praktik bisnis yang aman, transparan, dan bertanggung jawab bagi konsumen dan lingkungan.
Agar nilai syar’i dapat beroperasi efektif, negara membangun arsitektur kelembagaan. Sejak terbitnya Peraturan Presiden Nomor 153 Tahun 2024, Badan Penyelenggara Jaminan Produk Halal (BPJPH) ditetapkan sebagai Lembaga Pemerintah Non-Kementerian yang bertanggung jawab langsung kepada Presiden, berwenang menyelenggarakan layanan, regulasi turunan, dan pengawasan JPH. Dalam proses sertifikasi, peran ulama tetap sentral: Majelis Ulama Indonesia menetapkan fatwa halal melalui sidang komisi fatwa setelah menerima hasil audit dari Lembaga Pemeriksa Halal (LPH), sehingga kepastian hukum positif berjalan seiring otoritas keagamaan.
Detail kewajiban dan tahapannya kini diatur lebih rinci lewat Peraturan Pemerintah Nomor 42 Tahun 2024 yang menyempurnakan pengaturan sebelumnya. Regulasi ini menandai dimulainya penegakan kewajiban sertifikasi halal pada 18 Oktober 2024, serta menetapkan penahapan kategori produk, termasuk perpanjangan batas waktu untuk kelompok tertentu sampai 17 Oktober 2026. Dengan kerangka ini, pelaku usaha memperoleh kepastian tentang apa yang wajib disertifikasi, seperti apa label yang benar, dan bagaimana mekanisme pembaruan sertifikat, sementara pemerintah memiliki dasar untuk pembinaan dan penegakan secara proporsional.
Selain kewajiban sertifikasi, Indonesia juga menyediakan standar teknis agar perusahaan memiliki sistem yang bisa menjaga konsistensi kehalalan dari hulu ke hilir. Standar Nasional Indonesia SNI 99001:2016 tentang Sistem Manajemen Halal memberikan panduan membangun sistem, titik kendali proses, pelatihan, pencatatan, hingga perbaikan berkelanjutan. Standar ini melengkapi regulasi hukum publik dengan perangkat manajerial yang membantu pabrik dan UKM membuktikan, bukan sekadar mengklaim, bahwa prosesnya memenuhi prinsip halal.
Dalam praktik operasional, sinergi syar’i dan hukum positif terlihat pada alur sertifikasi. Pelaku usaha menyiapkan dokumen bahan dan proses, mendaftar melalui sistem resmi pemerintah, diaudit oleh auditor halal pada LPH, lalu hasilnya dibawa ke sidang fatwa untuk penetapan halal sebelum BPJPH menerbitkan sertifikat. Dengan cara ini, jembatan antara nilai agama dan tata kelola negara bekerja dua arah: ulama memastikan substansi kehalalan, sementara pemerintah memastikan prosedur yang seragam, transparan, dan akuntabel.
Dari kacamata bisnis, keberadaan landasan syar’i dan hukum positif tidak hanya menambah kepatuhan, tetapi juga memperkuat kepercayaan pasar. Konsumen memperoleh kepastian, mitra global lebih yakin pada mutu dan keterlacakan, dan pelaku usaha punya peta jalan yang jelas untuk membangun daya saing. Ketika standar syar’i dijalankan melalui sistem manajemen halal dan kerangka regulasi yang tegas, industri tidak sekadar “mematuhi aturan”, melainkan menanamkan kualitas dan etika sebagai keunggulan. Hasil akhirnya adalah ekosistem halal yang lebih tertib, kompetitif, dan berdampak luas bagi perekonomian nasional—sebuah pertemuan maslahat antara nilai ilahiah dan tata kelola modern.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar